Senin, 05 Agustus 2013

Jogja, when I see you again..

Hari kedua mudik, kalau tak salah, aku antar ibu ke pasar Ngasem. Makin cantik pasar tradisional ini. Sejak dulu memang pemkot Jogja tidak main-main menggarap pontensi usaha menengah ke bawah supaya tidak kalah dengan mart-mart yang makin lama makin banyak saja.
Oke, ada keramaian tidak biasa di seberang kiri pasar. Banyak orang berjubel di sebuah pintu pagar sebuah rumah besar.
"Probosutedjo bagi-bagi shadaqah." kata seseorang kudengar di pasar Ngasem.
Sudah menjadi tradisi tahunan bahwa keluarga dekat Cendana itu membagi uang di hari-hari mendekati Lebaran. Ribuan orang yang datang, mayoritas, justru dari luar kota Jogjakarta. Ada yang dari Bantul, Gunung Kidul, pokoknya yang jauh-jauh deh. Ada yang datang pakai motor, rombongan pakai mini colt atau jalan kaki. Luar biasa ya pesona uang :D .
Aku baru ngeh kalau rumah yang sering kuparkiri itu, rumah Probosutedjo. Ya sudah...semoga rejeki beliau lancar mengalir dan mengaliri rakyat jelata sekitar....

Hari berlalu, dan jalanan di Jogja masihlah sempit dan pendek. Kendaraan pribadi terutama mobil dan motor, meningkat deras. Jalanan, meskipun pendek-pendek dan sempit-sempit, setiap sekian bulan sekali--berdasar penuturan kontraktor yang sangat kukenal, dirawat setiap sekian bulan. Biaya? tentun saja dari mana saja, termasuk World Bank, Japan Bank, dan bank-bank yang lain. Aku tidak mendengar bank tempatku bekerja disebut oleh beliau :D

Ada bangunan baru, ada toko-toko baru. Semua baik. Maksudku, semua usaha insya Allah berdampak positif untuk perkembangan perekonomian Jogja. Hanya saja, aku sangat berharap dan berdoa supaya Jogja tidak menjadi kota metropolitan. Silakan saja menancapi Jogja dengan bangunan tinggi, tapi jangan lupakan, tingkatkan SDM DIY menjadi pribadi internasional, yang dengan nilai lokal, siap menyambut dunia internasional dan dengan nilai lokal siap bersaing dengan ketatnya dunia internasional.

Dan, ketika setiap orang yang datang ke Jogja, mereka menemukan 'Jogja', bukan sebuah daerah yang membalut wajahnya dengan 'Eropa' atau 'Amerika'. That's not cool, ya...

Jumat, 24 Mei 2013

Puisi Resign

Namaku Nur Laili, kau mengenalku dengan W0**1I
tadinya, kau kenalku dengan nama 120**126,
tapi satu hal dan lain sebagainya, ku kaumutasi...

Seperti inginmu, aku pergi dengan harapmu tergenggam:
aku bisa lebih baik lagi.
Memang.
Aku jatuh dan bangkit lagi.
Aku jatuh dan bangkit lagi.
Aku jatuh dan bangkit lagi.
Aku jatuh dan bangkit lagi.

Kuingat janjimu, kasihku,
di Jogja kita bertemu,
ke Jogja aku akan kembali..


Kamis, 07 Maret 2013

Kampung Halaman

Lalui indahnya dunia
silih berganti rasakan semua yang ada
...
rasa itu memanggilku
sesuatu yang dulu kurindu
tuk kembali dan ulangi semua denganmu
dan aku yakin kau di sana...

Setengahnya, tulisan ini kubuat karna aku kangen Jogja. Miss it so much. Kangen panasnya, kangen motorku, kangen kucingku, kangen keluargaku, kangen gudeg pasar Legi, kangen Ngasem, kangen kampusku, smaku, smpku, sdku...temen-temenku, yang pasti...aku kangen kampung halamanku.
lalu, lagi nyetir motor, tadi di perjalanan ke Cijati, entah kenapa aku berpikir tentang seseorang. Maksudku, bukan seseorang secara khusus. Ya, memang secara khusus (mulai ga jelas arah pembicaraan--mau ngeles aja kayak bajaj)...tapi mungkin lagi-lagi...karna kangen. ya sudah, biarkan saja...

Entah kenapa, tadi pas jadi naik motor, aku sempet kepikiran tentang kampung halaman, tentang suatu tempat yang selalu kita kunjungi sejauh apa pun kaki kita telah melangkah, ke tempat itulah kita akan kembali. Ada rasa rindu dan haru seperti lagi Kla. Ada kebahagiaan aneh yang selalu kita temukan ketika kita mengunjunginya. Ada rasa bangga ketika media massa memberitakan prestasi atau event dari kampung halaman kita. Mungkin karena kita menumpahkan darah pertama di tempat itu. Mungkin karena kita pernah terlibat sesuatu di tempat itu.

Mungkin karena K E N A N G A N. Memorilah yang memanggil kita datang lagi ke tempat itu lagi dan lagi. Terus menerus.

Masih ingat pepatah "Sejauh apa pun burung terbang pasti akan kembali jua". Sori, pepatahnya enggak sepas seharusnya. semoga kalian ngerti maksudku.

Dan kampung halaman...seperti seseorang. Seseorang yang penting, spesial, yang ketika kita mengingatnya, kita merasa rindu untuk menemuinya kembali. Lagi dan lagi. Terus menerus.

Seperti kampung halaman yang senantiasa menerima kita apa adanya, apakah kita menjadi direktur, karyawan, pahlawan, atau pecundang. Kampung halaman selalu menerima kita saat kita berharta atau miskin papa, berlian propinsi, atau sampah masyarakat.Sehat, sakit, nyaris mati, atau segar bugar. Kampung halaman seperti samudera yang menerima semua aliran sungai, besar, kecil, keruh, bening, semuanya. Semuanya. Tapi ia tetap samudera. Luas, tak bertepi, dalam tak terperi, misterinya tak tergali, hartanya ada tak terselami.

Ketika kita menemukan seseorang seperti itu, itulah kampung halaman kita.

Para suami adalah kampung halaman bagi para istri.
Istri adalah kampung halaman bagi para suami.
Keluarga adalah kampung halaman bagi anggotanya yang sedang pergi.
Kertas adalah kampung halaman bagi para penulis.

Kekasih adalah kampung halaman bagi para pengasih.

Atau seseorang yang tidak bisa kaumiliki meski rindumu selalu tertaut padanya.

Siapa kampung halamanmu?

Jumat, 05 Oktober 2012

Air Kehidupan Pagi Hari

Cerita dimulai pagi ini. Pagi hari, ketika udara dingin merayu siapapun menarik selimut lagi, aku keluar mencari air. Mencari air? Ya, kata orang Jawa, ngangsu banyu. Kok bisa banker pagi-pagi nyari air? Bisalah, banker juga manusia. Udah tiga kali sholat, pakai tayamum. Daripada nunggu air dibuka sama petugas, mending ikut ngangkut air sama ibu-ibu sekitar rumah.
Jarak wisma dan tempat ambil air kurang lebih 150m. Lebih dari 5 ibu-ibu mengambil air. Aku ikut mereka.
Aku membawa seember air terhuyung-huyung dari tempat air ke wisma. Seumur-umur, seingatku, baru kali ini aku ngambil air sejauh ini.
Sambil ambil air, aku tidak tahan untuk bertanya ini itu pada ibu-ibu yang mengambil air bersamaku. Pertanyaan awal-awal adalah tentang sudah berapa kali mengambil air, sudah berapa lama ngangkut air kayak gini, apakah tidak dimarahi perusahaan air, kenapa tidak langganan PDAM, dan sebagainya.
Sampai ketika aku melihat ada seorang ibu--yang tadi juga sama-sama mengangkut air bersamaku--sedang mandi si balik dinding tempat mengambil air.

Ketika ia mengambil air dengan ember hitam kecilnya, aku bertanya,"ibu juga mandi di sini?"

Ibu itu menjawab,"Iya, neng, sayang air. yang di rumah buat anak-anak."

Hanya beberapa kata saja, membuatku berpikir lama. Aku teringat keluargaku di Jogja. Aku teringat ibuku.

Sambil terhuyung-huyung mengangkut air, aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri,"Apa yang sudah kulakukan untuk ibuku?"

Ibuku telah pernah membawaku sekian bulan lamanya dalam kandungannya.

Ibuku setiap pagi bangun menyiapkan makan pagi, bergerak di siang hari menyiapkan makan siang, dan ke sana kemari menyiapkan aku menjadi seseorang yang berguna untuk masyarakat.

Apa yang sudah kuberikan untuk ibuku?

Kalau semua yang kulakukan dikumpulkan jadi satu, rasanya tidak sepadan untuk membalas semua yang telah ibu lakukan untukku. Sungguh.

Sambil berjalan dari wisma-tempat ambil air, aku berpikir:

Ibu adalah kata untuk segala pengorbanan yang setimpal dengan surga.

Senin, 17 September 2012

A Secret Garden

The beauties of marketing salah satunya adalah: jalan-jalan. Asiik. Melupakan sejenak target, tekanan tidak segera mendapatkan client dan sebagainya.
Menikmati alam hijau, asli, udara dingin ketika sore tiba, menemani kabut bercengkrama dengan polusi sehari, itulah yang kurasakan kemarin. Mars dan Jupiter, bersama Merkurius dan Matahari, kami berlima mendapati sebuah taman rahasia. A Secret Garden, a beautiful secret garden. Letaknya ada di daerah Langensari, melewati jalan berliku yang kalau aku disuruh ke sana sekali lagi tanpa ditemani, bisa tersesat meureun.
Di sana, di secret garden itu, kami berbagi duka. Duka sehari karena bau ketidakadilan menyengat hidung kami--hidung keempat planet itu, lebih tepatnya. 
Di bawah kami, lereng-lereng, lembah, sengkedan disulap kebun, diam menyimak obrolan terbang disambut angin deras mengalir entah dari mana. Aku sudah memperingatkan keempat planet itu, bahwa aku, Venus, akan buang gas karna pori-pori tubuhku lebih besar dari kebanyakan orang :D.

Ada solusi tapi belum ada tindak lanjut dari solusi yang hadir.

Ada kalanya, aku memang memilih untuk mendengarkan saja, tanpa memberi solusi. Solusi diajukan ketika sang pencurhat, meminta solusi. Ingin didengarkan adalah salah satu sifat alami manusia, terlebih ketika emosi marah memuncak, memberi solusi tanpa diminta, akan merunyamkan suasana.

Mendengarkan cerita siapa pun, menerima kepercayaan untuk menyimpan rahasia duka seperti menyimpan Taman Rahasia adalah kehormatan bagiku. Selain itu, aku jadi merasa tidak sendiri, menguak-nguak dalam sepi, tak bersambut kecuali sunyi.

Tak ada yang bisa kuceritakan kepada empat planet itu. Tak etis menceritakan masalahmu ketika mereka curhat tentang masalah mereka. Itu kode etik listener.

Seperti kata Lene Marlin:
"Can't show them that you're weak."

atau seperti kata Chris Cornell:
"Arm yourself because no one else here will safe you."

Menguatkan diri ketika sendiri, menjadi penguat dalam kelompok ketika berbaur. Biarlah Tuhan yang menyemangati kita sehingga setiap peristiwa menjadi teguran atas kemalasan kita. Cukuplah Allah yang mengetahui amal-amal kita, karna perhatian manusia terkadang menggerogoti keikhlasan. Tetap istiqomah dan bertahan.

Berdoa seperti Nabi Adam di Multazam:
Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui segala apa yang aku rahasiakan dan segala apa yang aku lakukan terbuka, terimalah pengaduanku.
Engkau Maha Mengetahui apa yang ada di dalam jiwaku dan segala apa yang ada padaku, ampunilah dosa-dosaku.
Engkau Maha Mengetahui segala apa yang aku perlukan, berikanlah kepadaku apa yang aku minta.
Ya Allah, aku mohon kepadaMu iman yang memenuhi hati dan keyakinan yang mantap benar sehingga menyadarkan aku bahwa tidak akan ada yang mencelakakanku kecuali apa yang telah Engkau pastikan untukku dan menyadarkan aku sehingga aku rela atas apa yang Engkau tetapkan untukku.

Minggu, 16 September 2012

Haji dan Air Minum

Seirng kali kita mendengar jamaah haji tersesat selama di Tanah Suci, lalu ada anggapan bahwa yang tersesat itu dulunya--di Indonesia, sering begini begitu. Maaf, ya, rasanya pandangan seperti itu tidak adil untuk Tanah Suci yang Mulia. Jamaah Haji adalah tamu-tamu Allah. Logikanya, ketika Allah bersabda kepada manusia untuk memuliakan tamu, masa Allah tidak memuliakan tamu-Nya? Hal-hal semacam itu seringkali menurunkan minat seorang muslim menunaikan rukun Islam yang ke lima itu. Padahal, di sana, di Tanah Suci, damainya minta ampun...
Oke, kembali ke masalah tersesat dan air minum. Kawasan geografi Makkah dan Madinah adalah pegunungan batu dengan iklim kering. Setiap jamaah haji sering diingatkan untuk banyak minum meskipun tidak haus. Alasannya, para jamaah haji tidak menyadari bahwa kelembapan tubuh mereka menguap. Jamaah haji tidak akan merasakan keringat, yang mereka rasakan biasanya tiba-tiba disorientasi (hilang arah), atau pusing, atau batuk-batuk.
Jangan membatasi air yang Anda minum, selagi masih di Tanah Suci, banyak-banyaklah minum air Zam-zam. Mumpung banyak, mumpung gratis, mumpung di Tanah Suci.
Salah satu cara supaya tidak tersesat adalah menandai tempat. Selama di Masjid Nabawi, pastikan Anda ingat atau mencatat nomor gerbang tempat Anda masuk. Di Masjid Nabawi, laki-laki dan perempuan dipisah. Setiap akan masuk ke kawasan wanita, para asykar (polisi) akan mengusir laki-laki. Begitupula sebaliknya. Di Masjidil-Haram, laki-laki dan wanita dicampur. Biasanya menandai posisi dengan bangunan-bangunan mencolok di sekitar Masjidil-Haram. Contohnya, sisi selatan Masjidil-Haram (menuju Aziziyah Janubiyah), ada bangunan istana raja.

Salah satu sisi selatan Masjidil-Haram.

Nah, ketika wukuf di Mina, saran terbaik adalah mengajak teman yang sekiranya mudah mengingat lokasi tenda menginap. Kenapa? Karena semua tenda bentuknya sama, putiiih semua. Bentuknya sama. Jadi kalau salah jalan atau terlalu jauh berjalan, bisa-bisa salah masuk tenda atau malah salah kawasan.

Kalaupun masih tersesat, mohon ampun kepada Allah, banyak-banyak istighfar. Adakah perlindungan lebih baik dari perlndungan Allah?

Sabtu, 15 September 2012

Cerita Lebaran 3#: it's (not) F-U-N-N-Y

Ceritanya, aku cabut ke Bandung--tujuan Lembang maksudnya--sendiri. Iyalah, temen2 bisa ketawa berdiri kalo tahu aku dateng ke Bandung dianter sekeluarga. Apapun yang pertama sering kali menjadi pengalaman amatir. Apalagi untuk aku yang tidak kunjung belajar. Maka, pergilah aku ke Bandung dengan persiapan seadanya: backbag, koper travel, dan sebungkus oleh2 dari Jogja. Sebelum berangkat, ibu telah mengingatkanku untuk membawa bekal selama perjalanan panjang--sepanjang gerbong kereta api.
selama di perjalanan, lebih tepatnya setelah sekian jam berlalu, aku mulai kehausan. ini dia, mulailah aku bertanya kepada diri sendiri "kenapa tadi ga beli di indo*****?", "kenapa tadi ga bawa bekal dari rumah?"--mulai nyesel.com.
Akhirnya, ketika ada asongan masuk kereta api--dari tadi hasrat jajan terkekang karna ga ada penjual masuk kereta api--aku langsung nyetop penjual minuman. semuanya dingin--ga prepare kali mang-nya kalo ada pembeli yang ga suka minuman dingin--bikin kebelet pipis.
"Berapa, Pak?"tanyaku.
"Sembilan ribu."

Asik. Harga sebotol Nu Green Tea dari 4000an jadi 9000.

Selanjutnya, karena terpepet kehausan, kubelilah sebotol teh itu.

Sambil minum teh seharga sembilan ribu itu, aku memandangi penjaja asongan yang berlalu lalang selama Lodaya berhenti di stasiun. Aku mengambil pelajaran moral maha pen(t)ing: walaupun terlihat rempong yeti, at least kamu ga bakal beli sebotol teh seharga sembilan ribu.

beberapa saat setelah si mang sembilan ribu berlalu, ada mang lain yang menjajakan sebotol teh dengan merk dan volume yang sama seharga 5000.

Baiklah.

Pelajaran moral kali ini adalah: bawalah bekal, terlebih kalau kamu mau naik kereta api kelas executive. There's no one will come to your class and offering their products.

Kuliner Selama Haji

Masalah makan adalah masalah ringan dan terlihat sepele. Tapi, kalau tidak diantisipasi--atau diniati dengan baik--bisa mengganggu kekhusyukan ibadah haji.
Untuk Anda --wahai calon Haji yang dimuliakan Allah-- yang suka kuliner alias jajan makanan, akan ada banyak variasi makanan di Tanah Suci. Makanan Timur Tengah didominasi oleh rempah-rempah dan santan. Tastenya cenderung ke Asia Selatan (India, Bangladesh, Sri Lanka, dsb). Jadi, yg suka jajan, pastikan kadar kolesterol Anda baik saja untuk diajak bertualang makanan. Harga rata-rata makanan di Makkah dan Madinah dimulai dari SR 4. Kabbab Dujjaj (Kebab Ayam), di Foodmart dekat Masjid Nabawi (duh kangen banget pengen ke sana lagi) harganya (kalau belum berubah) SR 4. Nasi Goreng Si Doel--letaknya di Foodmart juga--SR 6. Ada gorengan tempe, tahu, sayur kangkung, soto, bakso, dsb.
Pramusaji di toko2 makanan--selama musim haji--biasanya orang-orang Indonesia atau orang-orang yang bisa lebih dari dua bahasa. Minimal bahasa Indonesia, Inggris, dan Arab.
Jajan di Makkah, di penjual-penjual TKI, pilih2lah sebelum membeli. Ada banyak makanan yang dibiarkan terbuka padahal posisi jualan di pinggir jalan. Debu dan polusi--entah apa lagi-- menjadi 'vitamin di makanan tersebut. Murah, memang, tapi setimpalkah dengan kesehatan Anda? Ingat, Anda sedang berada di Tanah Suci, sebelas jam terbang jauhnya dari Tanah Air. Jaga kondisi kesehatan, lebih utama untuk Anda.
Di Makkah dan Madinah, yang paling dekat citarasa kulinernya adalah Turki. Ada ayam bakar (SR 10--setengah ayam besarnya) dan sabre (ayam utuh tanpa jeroan, agak tawar, dipanggang) harganya SR 15. Satu sabre cukup untuk 6-10 perut orang Indonesia. normal. untuk ayam bakar Turki (yg SR 10 tadi) cukup untuk 3-5 orang Indonesia. Rasa ayam bakar Turki lebih lezat dari sabre, karena lebih kerasa bumbunya.
Kalau mau makan ala Mc.Donald, ada juga. Namanya Chicken Brost. Harganya SR 12 dapet tiga potong. Lumayan besar. Cukup untuk berenam. Biasanya ditambah roti tepung dan kentang goreng.

Gambar di atas adalah contoh Sabre.

Nah, untuk yang selera makannya 'selektif' alias susah-susah gampang. Ada baiknya membawa terasi, sambel pecel, dan beras dari Indonesia. Dan bumbu dapur yang Indonesia banget. Di Makkah dan Madinah memang ada, tapi waktu dan kesempatan seringkali tidak memungkinkan Anda untuk menjelajah seluruh market untuk mencari apa yang Anda rasa 'Indonesia banget'. Di Tanah Suci tidak ada lombok riwit, adanya lombok hijau besar dan pedas. Kalau bikin sambel, enaknya pakai terasi (atau tergantung selera juga sih). Dan di Tanah Suci tidak ada terasi.
Selain didominasi rempah-rempah, beras di Tanah Suci adalah beras basmati atau Ruzz basmati. Biasanya diimpor dari Asia Selatan (yang paling dekat dengan Asia Barat). Rasa nasi basmati tawar-tawar saja, bahkan cenderung apek karena sering disimpan dalam karung goni. Nasi basmati paling enak dibikin nasi briyani. Ladziiiiiiiidz jiddan (uenak banget maknyuss pokok e). Untuk masakan Indonesia, nasi briyani cocok dijadikan nasi goreng :D

Contoh nasi putih plus lauknya daging sapi (atau unta, ya? Mirip unta, sih, seratnya panjang-panjang)

Selain membawa bahan pokok dari Indonesia dapat mengurangi rasa kangen masakan Indonesia, juga dapat menghemat uang jajan Anda selama di Tanah Suci. Belum lagi kalau Anda sudah melihat berbagai pernik yang ditawarkan pedagang dan antrean oleh-oleh dalam benak Anda.

Maka Nikmat Tuhanmu Yang Manakah Yang Kamu Dustakan *

Baca berita tentang haji yang sebentar lagi, pikiranku langsung terbang lagi ke barat daya. Melewati riak-riak angkasa, melarung sebelas jam menngarungi daratan dan lautan. Makkah dan Madinah, Dua Tanah Suci bahkan Raja Saudi menggelari dirinya sebagai 'Pembantu Dua Tanah Suci', yang begitu istimewa bagi seluruh umat muslim sedunia.
15 September setahun lalu, mungkin aku sedang sibuk mengurusi barang-barang yang akan dibawa ke Tanah Suci. Ya, alhamdulillah, kalau kau bertanya, aku memang ke Tanah Suci untuk menemani ibuku menunaikan rukun Islam ke 5. Ada yang bertanya, "kalau kamu nemenin ibu, kamu ikut haji?". Penginnya ketawa atau bilang "ya iyalah, masa ya iya dong.", tapi ga boleh ngomong seperti itu. Aku hanya tersenyum dan menjawab "iya.". Rupanya lebih mujarab menjawab seperti itu. Yang tanya, tidak tanya-tanya lagi.
Bolehlah punya rencana traveling 5 benua, sekian ratus negara, ribuan kota, dsb, tapi --sama seperti aku yang sebelumnya tak menyangka akan menginjak Tanah Suci--setelah perjalanan agung itu, kalau punya uang lagi, aku--rasa-rasanya kalau milih disuruh trveling--milih umrah lagi atau haji lagi. Sumpah!
Entahlah, rasanya damaaaaaaaaai banget di sana. Orang-orang bilang di Makkah dan Madinah panas menyengat dsb, alhamdulillah, aku tidak merasakan seperti itu. Kalaupun ada yang merasakan seperti itu, bukan berarti orang itu banyak dosa, ada masalah di masa lalu, dsb, bukan. Tubuhku kurus dan hanya memiliki sedikit lemak, jadi rasanya, alhamdulillah, nyaman-nyaman saja. Kebetulan, cuaca saat itu memang sedang paling enak buat jamaah haji. Musim panas mendekati musim semi (eh, bener ga ya?), jadi enggak begitu panas dan enggak begitu dingin. Subuh-subuh pun rasanya seperti jam tujuh pagi di Jogja pada musim hujan, malam-malam pun rasanya fine-fine aja, kok. Sekali lagi, Alhamdulillahirabbil 'alamin.

Ada banyak pertanyaan mengenai 'hal-hal aneh' apa yang kualami selama di Makah dan Madinah. Suer, pertanyaan seperti ini membuatku tertawa. Bukan menertawakan penanya atau pertanyaannya, tapi sejatinya, aku tidak mengalami--atau tidak sadar kalau mengalami--hal-hal yang kerap menjadi perhatian media masa itu. Aku pernah dengar--cerita seorang teman seregu haji--bahwa tahun 88, sepasukan Iran dari Qom, menyerbu Masjidil-Haram. Saat itu, ada anjing besar berwarna hitam. Entah apa maksud penyerangan itu. Dulu, Abrahah juga bernafsu memindahkan 'haji' ke Qom, Iran, tapi sebelum mencapai Ka'bah--lebih tepatnya di Muzdalifah, Allah menurunkan burung Ababil yang membawa batu kerikil dari neraka. Kejadian itu terekam abadi dalam surat Al-Fiil. Dan kejadian itu, menandai kelahiran Nabi Besar, Panglima seluruh umat manusia, Rasul yang menjadi alasan Allah membangun Surga Firdaus: Rasulullah Muhammad Saw. Shalawat untuk beliau dan ahlul-bait beliau.

Ada banyak orang yang mengatakan bahwa setelah menunaikan ibadah haji, seseorang akan berubah. Benar. Sejauh ini, aku merasakan demikian. Perjalanan haji pada intinya--yang kupahami--adalah rangkaian untuk menjadikan seorang manusia menjadi manusia. 'Ali Syari'ati, dalam bukunya Menjadi Manusia Haji, mengatakan bahwa--maaf ya kalau redaksinya kurang tepat--selama ini yang dilakukan manusia, tidak jauh dengan binatang. Manusia cari makan, binatang juga cari makan. Manusia berketurunan, binatang pun demikian. Haji--kata 'Ali Syari'ati menjadikan manusia menjadi manusia. Ia adalah khalifah, bertindaklah sebagai khalifah. Bumi pernah ditawarkan kepada makhluk ciptaan Allah sebelum manusia, mereka mengatakan tidak sanggup. Ketika Allah menciptakan Adam dan menawarkan bumi untuk diolah, Adam menyanggupinya. Allah menurunkan Adam ke muka bumi bersama dengan Ka'bah Al-Mukaromah.

Setiap kali aku merasa penat dengan permasalahan yang aku hadapi, aku mengingat semua keberuntungan yang kudapatkan. Haji adalah salah satu dari sekian banyak keberuntungan yang kudapatkan. Aku tidak mengatakan bahwa ketidakberuntungan adalah suatu hal yang buruk. Permasalahan pun rezeki dari Allah Swt yang menjadi tanda bahwa kita mendapatkan perhatian dari Nya.

Kurang apa, coba, Laily? tanyaku dalam hati setiap melongok ke dalam hati sanubari sebelum beranjak tidur. Usia 23 th, kamu sudah menunaikan ibadah haji. Belum bekerja--bahkan belum wisuda, kamu sudah dijatah sekian ratus meter tanah oleh kedua orangtuamu. Kau mengatakan kamu kurus, padahal, setiap orang menginginkan tubuh seperti dirimu. Meskipun terkadang aneh, paling tidak, tidak ada orang yang menyatakan kebencian kepadamu. Hanya masalah uang menipis, kamu kembang kempis. Hanya masalah kangen keluarga, kamu pengen cepet-cepet mutasi kerja. Mana kesabaranmu, Hajjah? Yang paling penting dari seseorang yang sudah haji adalah kesabarannya. Sabar mengantre administrasi di loket di bandara Jeddah, sabar menanti bus mengantar ke Madinah, sabar mengantre lift, sabar mengantre di kamar mandi di Masjidil-Haram, sabar berdesakan di dalam bus Saptco, sabar kehimpit-himpit orang-orang besar. Sabar dan sabar. Dan siapakah yang mengatakan sabar ada batasnya?

Benar adanya firman Allah Swt, "Manusia adalah makhluk yang suka tergesa-gesa."