Senin, 05 Agustus 2013

Jogja, when I see you again..

Hari kedua mudik, kalau tak salah, aku antar ibu ke pasar Ngasem. Makin cantik pasar tradisional ini. Sejak dulu memang pemkot Jogja tidak main-main menggarap pontensi usaha menengah ke bawah supaya tidak kalah dengan mart-mart yang makin lama makin banyak saja.
Oke, ada keramaian tidak biasa di seberang kiri pasar. Banyak orang berjubel di sebuah pintu pagar sebuah rumah besar.
"Probosutedjo bagi-bagi shadaqah." kata seseorang kudengar di pasar Ngasem.
Sudah menjadi tradisi tahunan bahwa keluarga dekat Cendana itu membagi uang di hari-hari mendekati Lebaran. Ribuan orang yang datang, mayoritas, justru dari luar kota Jogjakarta. Ada yang dari Bantul, Gunung Kidul, pokoknya yang jauh-jauh deh. Ada yang datang pakai motor, rombongan pakai mini colt atau jalan kaki. Luar biasa ya pesona uang :D .
Aku baru ngeh kalau rumah yang sering kuparkiri itu, rumah Probosutedjo. Ya sudah...semoga rejeki beliau lancar mengalir dan mengaliri rakyat jelata sekitar....

Hari berlalu, dan jalanan di Jogja masihlah sempit dan pendek. Kendaraan pribadi terutama mobil dan motor, meningkat deras. Jalanan, meskipun pendek-pendek dan sempit-sempit, setiap sekian bulan sekali--berdasar penuturan kontraktor yang sangat kukenal, dirawat setiap sekian bulan. Biaya? tentun saja dari mana saja, termasuk World Bank, Japan Bank, dan bank-bank yang lain. Aku tidak mendengar bank tempatku bekerja disebut oleh beliau :D

Ada bangunan baru, ada toko-toko baru. Semua baik. Maksudku, semua usaha insya Allah berdampak positif untuk perkembangan perekonomian Jogja. Hanya saja, aku sangat berharap dan berdoa supaya Jogja tidak menjadi kota metropolitan. Silakan saja menancapi Jogja dengan bangunan tinggi, tapi jangan lupakan, tingkatkan SDM DIY menjadi pribadi internasional, yang dengan nilai lokal, siap menyambut dunia internasional dan dengan nilai lokal siap bersaing dengan ketatnya dunia internasional.

Dan, ketika setiap orang yang datang ke Jogja, mereka menemukan 'Jogja', bukan sebuah daerah yang membalut wajahnya dengan 'Eropa' atau 'Amerika'. That's not cool, ya...

Jumat, 24 Mei 2013

Puisi Resign

Namaku Nur Laili, kau mengenalku dengan W0**1I
tadinya, kau kenalku dengan nama 120**126,
tapi satu hal dan lain sebagainya, ku kaumutasi...

Seperti inginmu, aku pergi dengan harapmu tergenggam:
aku bisa lebih baik lagi.
Memang.
Aku jatuh dan bangkit lagi.
Aku jatuh dan bangkit lagi.
Aku jatuh dan bangkit lagi.
Aku jatuh dan bangkit lagi.

Kuingat janjimu, kasihku,
di Jogja kita bertemu,
ke Jogja aku akan kembali..


Kamis, 07 Maret 2013

Kampung Halaman

Lalui indahnya dunia
silih berganti rasakan semua yang ada
...
rasa itu memanggilku
sesuatu yang dulu kurindu
tuk kembali dan ulangi semua denganmu
dan aku yakin kau di sana...

Setengahnya, tulisan ini kubuat karna aku kangen Jogja. Miss it so much. Kangen panasnya, kangen motorku, kangen kucingku, kangen keluargaku, kangen gudeg pasar Legi, kangen Ngasem, kangen kampusku, smaku, smpku, sdku...temen-temenku, yang pasti...aku kangen kampung halamanku.
lalu, lagi nyetir motor, tadi di perjalanan ke Cijati, entah kenapa aku berpikir tentang seseorang. Maksudku, bukan seseorang secara khusus. Ya, memang secara khusus (mulai ga jelas arah pembicaraan--mau ngeles aja kayak bajaj)...tapi mungkin lagi-lagi...karna kangen. ya sudah, biarkan saja...

Entah kenapa, tadi pas jadi naik motor, aku sempet kepikiran tentang kampung halaman, tentang suatu tempat yang selalu kita kunjungi sejauh apa pun kaki kita telah melangkah, ke tempat itulah kita akan kembali. Ada rasa rindu dan haru seperti lagi Kla. Ada kebahagiaan aneh yang selalu kita temukan ketika kita mengunjunginya. Ada rasa bangga ketika media massa memberitakan prestasi atau event dari kampung halaman kita. Mungkin karena kita menumpahkan darah pertama di tempat itu. Mungkin karena kita pernah terlibat sesuatu di tempat itu.

Mungkin karena K E N A N G A N. Memorilah yang memanggil kita datang lagi ke tempat itu lagi dan lagi. Terus menerus.

Masih ingat pepatah "Sejauh apa pun burung terbang pasti akan kembali jua". Sori, pepatahnya enggak sepas seharusnya. semoga kalian ngerti maksudku.

Dan kampung halaman...seperti seseorang. Seseorang yang penting, spesial, yang ketika kita mengingatnya, kita merasa rindu untuk menemuinya kembali. Lagi dan lagi. Terus menerus.

Seperti kampung halaman yang senantiasa menerima kita apa adanya, apakah kita menjadi direktur, karyawan, pahlawan, atau pecundang. Kampung halaman selalu menerima kita saat kita berharta atau miskin papa, berlian propinsi, atau sampah masyarakat.Sehat, sakit, nyaris mati, atau segar bugar. Kampung halaman seperti samudera yang menerima semua aliran sungai, besar, kecil, keruh, bening, semuanya. Semuanya. Tapi ia tetap samudera. Luas, tak bertepi, dalam tak terperi, misterinya tak tergali, hartanya ada tak terselami.

Ketika kita menemukan seseorang seperti itu, itulah kampung halaman kita.

Para suami adalah kampung halaman bagi para istri.
Istri adalah kampung halaman bagi para suami.
Keluarga adalah kampung halaman bagi anggotanya yang sedang pergi.
Kertas adalah kampung halaman bagi para penulis.

Kekasih adalah kampung halaman bagi para pengasih.

Atau seseorang yang tidak bisa kaumiliki meski rindumu selalu tertaut padanya.

Siapa kampung halamanmu?