Sabtu, 15 September 2012

Maka Nikmat Tuhanmu Yang Manakah Yang Kamu Dustakan *

Baca berita tentang haji yang sebentar lagi, pikiranku langsung terbang lagi ke barat daya. Melewati riak-riak angkasa, melarung sebelas jam menngarungi daratan dan lautan. Makkah dan Madinah, Dua Tanah Suci bahkan Raja Saudi menggelari dirinya sebagai 'Pembantu Dua Tanah Suci', yang begitu istimewa bagi seluruh umat muslim sedunia.
15 September setahun lalu, mungkin aku sedang sibuk mengurusi barang-barang yang akan dibawa ke Tanah Suci. Ya, alhamdulillah, kalau kau bertanya, aku memang ke Tanah Suci untuk menemani ibuku menunaikan rukun Islam ke 5. Ada yang bertanya, "kalau kamu nemenin ibu, kamu ikut haji?". Penginnya ketawa atau bilang "ya iyalah, masa ya iya dong.", tapi ga boleh ngomong seperti itu. Aku hanya tersenyum dan menjawab "iya.". Rupanya lebih mujarab menjawab seperti itu. Yang tanya, tidak tanya-tanya lagi.
Bolehlah punya rencana traveling 5 benua, sekian ratus negara, ribuan kota, dsb, tapi --sama seperti aku yang sebelumnya tak menyangka akan menginjak Tanah Suci--setelah perjalanan agung itu, kalau punya uang lagi, aku--rasa-rasanya kalau milih disuruh trveling--milih umrah lagi atau haji lagi. Sumpah!
Entahlah, rasanya damaaaaaaaaai banget di sana. Orang-orang bilang di Makkah dan Madinah panas menyengat dsb, alhamdulillah, aku tidak merasakan seperti itu. Kalaupun ada yang merasakan seperti itu, bukan berarti orang itu banyak dosa, ada masalah di masa lalu, dsb, bukan. Tubuhku kurus dan hanya memiliki sedikit lemak, jadi rasanya, alhamdulillah, nyaman-nyaman saja. Kebetulan, cuaca saat itu memang sedang paling enak buat jamaah haji. Musim panas mendekati musim semi (eh, bener ga ya?), jadi enggak begitu panas dan enggak begitu dingin. Subuh-subuh pun rasanya seperti jam tujuh pagi di Jogja pada musim hujan, malam-malam pun rasanya fine-fine aja, kok. Sekali lagi, Alhamdulillahirabbil 'alamin.

Ada banyak pertanyaan mengenai 'hal-hal aneh' apa yang kualami selama di Makah dan Madinah. Suer, pertanyaan seperti ini membuatku tertawa. Bukan menertawakan penanya atau pertanyaannya, tapi sejatinya, aku tidak mengalami--atau tidak sadar kalau mengalami--hal-hal yang kerap menjadi perhatian media masa itu. Aku pernah dengar--cerita seorang teman seregu haji--bahwa tahun 88, sepasukan Iran dari Qom, menyerbu Masjidil-Haram. Saat itu, ada anjing besar berwarna hitam. Entah apa maksud penyerangan itu. Dulu, Abrahah juga bernafsu memindahkan 'haji' ke Qom, Iran, tapi sebelum mencapai Ka'bah--lebih tepatnya di Muzdalifah, Allah menurunkan burung Ababil yang membawa batu kerikil dari neraka. Kejadian itu terekam abadi dalam surat Al-Fiil. Dan kejadian itu, menandai kelahiran Nabi Besar, Panglima seluruh umat manusia, Rasul yang menjadi alasan Allah membangun Surga Firdaus: Rasulullah Muhammad Saw. Shalawat untuk beliau dan ahlul-bait beliau.

Ada banyak orang yang mengatakan bahwa setelah menunaikan ibadah haji, seseorang akan berubah. Benar. Sejauh ini, aku merasakan demikian. Perjalanan haji pada intinya--yang kupahami--adalah rangkaian untuk menjadikan seorang manusia menjadi manusia. 'Ali Syari'ati, dalam bukunya Menjadi Manusia Haji, mengatakan bahwa--maaf ya kalau redaksinya kurang tepat--selama ini yang dilakukan manusia, tidak jauh dengan binatang. Manusia cari makan, binatang juga cari makan. Manusia berketurunan, binatang pun demikian. Haji--kata 'Ali Syari'ati menjadikan manusia menjadi manusia. Ia adalah khalifah, bertindaklah sebagai khalifah. Bumi pernah ditawarkan kepada makhluk ciptaan Allah sebelum manusia, mereka mengatakan tidak sanggup. Ketika Allah menciptakan Adam dan menawarkan bumi untuk diolah, Adam menyanggupinya. Allah menurunkan Adam ke muka bumi bersama dengan Ka'bah Al-Mukaromah.

Setiap kali aku merasa penat dengan permasalahan yang aku hadapi, aku mengingat semua keberuntungan yang kudapatkan. Haji adalah salah satu dari sekian banyak keberuntungan yang kudapatkan. Aku tidak mengatakan bahwa ketidakberuntungan adalah suatu hal yang buruk. Permasalahan pun rezeki dari Allah Swt yang menjadi tanda bahwa kita mendapatkan perhatian dari Nya.

Kurang apa, coba, Laily? tanyaku dalam hati setiap melongok ke dalam hati sanubari sebelum beranjak tidur. Usia 23 th, kamu sudah menunaikan ibadah haji. Belum bekerja--bahkan belum wisuda, kamu sudah dijatah sekian ratus meter tanah oleh kedua orangtuamu. Kau mengatakan kamu kurus, padahal, setiap orang menginginkan tubuh seperti dirimu. Meskipun terkadang aneh, paling tidak, tidak ada orang yang menyatakan kebencian kepadamu. Hanya masalah uang menipis, kamu kembang kempis. Hanya masalah kangen keluarga, kamu pengen cepet-cepet mutasi kerja. Mana kesabaranmu, Hajjah? Yang paling penting dari seseorang yang sudah haji adalah kesabarannya. Sabar mengantre administrasi di loket di bandara Jeddah, sabar menanti bus mengantar ke Madinah, sabar mengantre lift, sabar mengantre di kamar mandi di Masjidil-Haram, sabar berdesakan di dalam bus Saptco, sabar kehimpit-himpit orang-orang besar. Sabar dan sabar. Dan siapakah yang mengatakan sabar ada batasnya?

Benar adanya firman Allah Swt, "Manusia adalah makhluk yang suka tergesa-gesa."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar