NAmanya pak Sigit, suaminya bu Yuli. Tetangga sejak aku masih anak-anak. HAri pertama lebaran, mereka selalu mampir ke ruamh. Kebetulan memang bapakku adalah orang tertua di jalan Harjuna. KAli ini, mereka datang dengan personel lengkap: sepasang suami istri dan tiga orang anak.
PAk Sigit kerja di perusahaan tambang di Jakarta. bu Yuli lulusan S2 psikologi dan memilih jadi ibu rumah tangga. Anak pertama, Zahra, mahasiswi Arsitektur Undip. Anak kedua, Bintang, masih SMA, yang ketiga, Caesar, masih anabil :D . Setelah salam2 seperti biasanya, bu Yuli ngobrol dengan ibuku, menanyakan bagaimana keadaannya--karena beliau tahu, ibuku belum lama ini opname karna sakit jantung. Ibu menjawab yang--mungkin karena redaksinya--terdengar seperti keluhan. Sebagai orang yang begitu lama berkecimpung di psikologi, bu Yuli mengiyakan dulu keluhan ibu, setelah itu memberikan masukan.
"Iya, Bu, tidak apa-apa. Semua memang perlu proses. Mengeluh dulu tidak apa-apa, setelah itu ikhlaskan. Insya Allah cepat sembuh. Yang penting dari penyembuhan adalah dari dalam diri sendiri. Kalau tubuh tertekan, merasa tidak dapat menerima penyakit, enzim penyembuh yang ada dalam diri, tidak bisa keluar dan kita tidak dapat sembuh2. Obat dokter memang membantu, tapi cuma sekian persen. Yang paling membantu adalah keyakinan diri sendiri dan ikhlas. Ikhlas memang obat segalanya, bu. Dan untuk menuju ikhlas memang tidak mudah. Sabar."
Gantian pak Sigit ngobrol denganku--karena dia tahu, aku tidak lagi di Jogja, menemani kedua orangtuaku.
"Semua itu harus diterima dulu secara ikhlas. Dapet kuliah di Sastra Arab, alhamdulillah, kerja di Bank, alhamdulillah. Disyukuri sebagai pertolongan Allah. Kalau sudah begitu, insya Allah karirnya cepet naik. Dan lagi, perbanyak shadaqah. Kita kan punya jatah dari Allah 'berdoalah, Aku akan mengabulkan permintaanmu.', nah, kita manfaatkan statement Allah itu, untuk berbuat baik sebanyak mungkin."
Iya, berbuat baik sebanyak mungkin selagi masih hidup, selagi sempat, selagi mampu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar