Rabu, 28 April 2010
The reason why...
Suatu malam, ketika penunjuk waktu di handphone mengatakan padaku bahwa sesaat lagi adalah tengah malam, sahabatku mengirim sms. Ia memberi kabar bahwa ia telah mengenakan kawat gigi. Ia juga bertanya mengenai gaji waitress Mc.Donald. Di antara sadar dan agak bermimpi, aku bisa saja bangun dan membalas sms itu. Hanya saja, aku tidak langsung membalasnya adalah karena aku mencoba menjaga jarak dengannya.
Hampir lima hari sms itu tidak kubalas. Hari kelima, pagi-pagi, ketika aku mengobrol dengan ibuku di ruang pengajian, ia mengirim sms yang mengatakan bahwa ia baru menyadari kalau ia sendirian saja di Jogja. Kakak-kakaknya dulu juga kuliah di Jogja, tapi semuanya telah lulus dan bekerja. Smsnya pagi itu membuatku berpikir hingga malam hari. Aku mencoba meraba apa maksud smsnya.
Setelah menyelesaikan sebuah masalah keluarga, aku meneleponnya untuk bertanya mengapa ia mengirim sms seperti pagi-pagi. Saat kutelepon, ia tidak mengangkatnya. Hmm, aku sudah meneleponmu dan kamu tidak mengangkatnya. Baiklah, aku berpikir positif, kamu sedang mengajar. Dua puluh menit kemudian, ketika salah seorang teman datang menitipkan lemari kayu, ia menelepon. Aku agak ragu mengangkatnya karena aku sedang menunggui temanku pamitan di depan pintu pagar. Saat kuangkat, langsung kuberitahu kalau aku akan menghubunginya. Ia menutup teleponnya. Tuh, kan, temanku mengira kalau panggilan itu dari pacarku. Pacar?
Temanku pergi, aku kembali ke depan komputer. Aku lupa sedang apa aku saat itu. Mungkin menulis cerita, mungkin mengerjakan tugas (ya, karena malas, di semester VIII, aku masih harus mengambil teori), mungkin memindah foto, mungkin hanya mendengarkan Winamp. Aku lupa.
Ketika asyik mengetik, ia mengirim sms yang isinya pertanyaan mengapa aku meneleponnya. Aku jawab,
“Aku mau nanya---sensor---Ada apa pagi-pagi udah feeling lonely?di kos ga ada yang berantem, ya?”
Tak lama kemudian, ia menjawab,
“Laili ga ada bales smsku, aku jadi ngerasa kesepian.”
Kalau ada yang bertanya mengapa aku ingin menjauhinya, jawabannya karena aku tidak cukup baik untuk jadi orang yang dia sebut sahabat. Aku sangat membenci pacarnya, aku tidak pernah mengungkapkan apa yang berbeda pada diri atau keadaannya, aku paling jarang memujinya, dan parahnya, aku jarang menucapkan ‘terima kasih’ tapi sering ngucap ‘maaf’ padanya.
Pada intinya, aku bukan orang ekspresif. Aku tidak serta merta mengungkapkan apa yang kupikirkan dan kurasakan jika itu berbeda dengan keadaan. Aku lebih suka diam dan mendiamkan apa yang kuketahui, menyepikan perbedaan-perbedaan yang kurasakan. Ketika aku ingin perhatian, hal itu bisa mengekangnya dan membuatnya tidak nyaman. Ketika aku ingin tidak peduli padanya, ia akan kesepian –ya, seperti sms itu.
Aku, sebenarnya, adalah orang jujur. Ketika aku membenci seseorang, aku tidak akan banyak bertemu, banyak bicara, atau banyak membicarakan orang tersebut. Aku pun, lagi-lagi sebenarnya, adalah orang yang tidak mudah membenci orang. Sayangnya, setan tahu celah dalam hatiku, menyusup di dalamnya, menuangkan sedikit minyak perbedaan, menyulut dengan perbedaan tersebut, dan mengipasnya. Terus, sampai setiap kali aku mendengar nama orang itu disebut, ingiiiiiiin rasa hati ini mendatanginya dan menembakkan seputir peluru tepat di kepalanya. Sial, hebat benar setan. Tapi, terima kasih, setan, dengan membencinya, hal tersebut dapat menjauhkanku dari banyak hal yang mungkin tidak kuinginkan.
Karna tahu aku sangat membencinya, ia tidak lagi membicarakan orang itu di depanku. Bodohnya, aku malah penasaran dengan kelanjutan hubungan mereka. Lalu, ketika ia menyebut namanya dan apa pun yang berhubungan dengan pacarnya, wuah, rasanya seperti ada gondok sebesar gunung Himalaya tersangkut di dalam hati. Ingin rasanya aku berteriak pada sahabatku itu, “ Woe, sadar, woe! Orang yang teramat sangat kamu cintai itu menuhankan alat musiknya! Inget, kan, gimana perlakuan dia ke kamu waktu kamu ga sengaja naruh alat musik tercintanya itu? Inget ga? Lupa? Amnesia? Perasaanmu sia-sia! Perubahan baik apa yang terjadi pada dirimu setelah selama ini menaruh perasaan ke dia? Apa? Apa? Ga ada?”
Tahu? Karena ia tidak ingin aku marah, ia menyimpan perasaan, kegelisahan, dan perasaan-perasaan lain selama ia pacaran, sendirian. Pada siapa ia bercerita, aku tidak tahu. Aku sudah memberitahunya melalui surat yang pernah kukirim padanya, aku tidak akan mengungkit-ungkit pacarnya lagi. Ya, aku memang kejam. Itulah mengapa aku ingin menjauh darinya. Jika ia terlalu dekat, ia bisa kebanyakan sakit hati.
Aku tidak benar-benar tahu apa yang ia butuhkan. Selama ini yang kulakukan hanya respons atas semua aksi yang ia berikan. Ia tak benar-benar tahu apa yang kubutuhkan. Ya, karena aku jarang bercerita mengenai diriku sendri.
Satu hal yang kucermati, aku tidak benar-benar menjadi diriku sendiri ketika aku bersamanya. Kurasa, ia pun tak ‘lepas’ karena ia harus banyak menjaga diri agar tidak menyinggungku. Apakah itu persahabatan?
Biarlah, biarlah kalau ia memang masih menyimpan perasaan cinta bodohnya pada bajingan itu. Biar saja begitu, toh, apa urusanku? Biarlah ia bebas memakan makanan yang ingin ia rasakan, toh, siapa yang makan siapa yang pencernaan. Toh, yang merasakan sakit perutnya bukan aku. Apa urusanku? Mungkin proses hidupnya emang harus kayak gitu, harus gimana dong aku?
Pada sakit giginya malam ini, aku ingin menitipkan salam
Melambai pada kata dalam hati kelam
Pada handphonenya, aku ingin menitipkan rasa senang
Bahwa sms yang paling kusukai adalah pertanyaan, “Lagi ngapain, li?”
Pada maya yang membantuku nyata, aku ingin menitipkan kata ini
“Maaf.”
Tatkala ia marah kepadaku karena sebuah kunci dan memintaku tak usah bersahabat atau mengenalnya lagi, aku setuju. Aku memang egois, karena itulah aku setuju. Aku tidak marah, aku justru lega. Lega bukan karena ia membebaniku selama ini, aku lega karena aku tidak ingin menyakitinya lagi.
Pada siapa kau labuhkan rasa sepi, Teman?
Pada seorang sahabat di Negeri Matahari Terbit?
Redakan amarah karena aku sedang belajar
Kau tidak tanya aku sedang belajar apa?
Setelah kau mendapatkan dua huruf di belakang nama lengkapmu,
mungkin kau takkan lagi di sini
dan aku akan melempar topi sarjana sendiri
aku tidak ingin kau menemani
kau sedang mengusahakan yang terbaik
maka, kau pantas mendapatkan yang terbaik
Berjuanglah,
Aku akan membantumu jika waktu tak mengimpitku seperti ini
Yogya, 22 April 2010
@ 21:37
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar